04 March 2012

Pelestarian Hutan Mutlak untuk Masa Depan Bumi

“Ketika pohon terakhir telah dicabut, ketika ikan terakhir telah ditangkap, ketika sungai terakhir telah dicemari, manusia akan sadar bahwa mereka tidak dapat memakan uang.” (Semboyan Konservasi Alam Dunia)


Dari sejumlah situs dilansir bahwa penyebabnya adalah pembalakan hutan. Tak heran, fakta menunjukkan, ribuan meter kubik kayu gelondongan terhampar di sepanjang alur banjir. Pada ujung batang kayu itu masih terlihat bekas gergajian dengan diameter 10 cm-75 cm. meski pendapat seperti curah hujan yang tinggi dan faktor kemiringan tanah tetap disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir bandang ini. Lepas dari itu semua, tidak ada yang menyangkal bahwa perusakan lingkungan adalah faktor penyebab terbesar bencana Tangse.

Sebenarnya isu deforestasi hutan Aceh yang terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama pasca tsunami, bukanlah isu baru. Walhi Aceh mencatat dari tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Artinya, 32.657 hektar hutan dibabat tiap tahun. Pada tahun 2006, setahun sebelum dilakukan memorium, tingkat deforestasi dan degradasi hutan Aceh telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara lebih dari 5 kali lipat luas Singapura. Deforestasi tersebut menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah, mencapai angka 1,87 juta hektar, yang di antaranya tersebar pada 75% kawasan konservasi dan hutan lindung (Greenomics, 2006).
Keberadaan moratorium logging yang dicanangkan sejak tahun 2007, yang intinya mencabut perizinan illegal dan legal kehutanan di Aceh, seolah nyaris tanpa gaung. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen. Hasil penelitian Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) pada tahun 2009, menyebutkan kehilangan hutan di Aceh rata-rata 0,9 persen per tahun.
Suatu ironi bahwa peringatan akan kerusakan lingkungan ini telah terjadi sejak lama. Isu tentang kerusakan lingkungan Aceh telah banyak dibeberkan saat tahun 2006, karena tingginya aktivitas illegal loggingpasca tsunami. Namun tetap saja, isu dan penerapan memorium hanya menjadi wacana, hingga bencana sebesar ini—yang juga bukan pertama kalinya—terjadi dan memakan korban.
Seolah menjadi bukti nyata, isu perusakan lingkungan memang memerlukan banyak pembuktian untuk menyatakan bahwa suatu bencana memang merupakan efek dari kerusakan lingkungan, bukan suatu proses alam yang alami. Lihat saja saat bencana Wasior, bahkan pemerintah awalnya juga memaklumatkan mengenai tingginya curah hujan dan kemiringan tanah sebagai penyebab utama dari terjadinya banjir bandang, sehingga seolah menutup mata dari kesaksian korban bencana yang menyatakan bahwa gelondongan-gelondongan besar kayu turun dari gunung menyapu rumah mereka. Ada begitu banyak kepentingan ekonomi dan politik yang menjadikan lambannya respon pemerintah dan perangkat kemasyarakatan dalam merespon isu lingkungan.
Tidak hanya di dalam negeri, dalam tatanan dunia global pun reaksi yang timbul tak jauh berbeda, saat lubang ozon pertama kali terdeteksi di atas Antartika awal tahun 1975. Tahun 1977, rencana tindakan diambil. Tahun 1987, dikeluarkan Protokol Montreal. Protokol ini memperkenalkan serangkaian kapasitas, termasuk jadwal tindakan, mengawasi produksi dan pembebasan CFC ke alam sekitar. Ini memungkinkan tingkat penggunaan dan produksi terkait CFC untuk turun ke tingkat semasa 1986 pada tahun 1989, dan pengurangan sebanyak 50% pada 1999. Ada jeda hingga 10 tahun lebih untuk pengambilan tindakan.
Tahun 1978, sebuah buku yang berjudul Hari yang Keduapuluh Sembilan diterbitkan. Isinya menyangkut segala macam permasalahan lingkungan, mulai dari ancaman krisis pangan, energi, pencemaran laut dan sumber air, pencemaran lingkungan, hingga pemanasan global. Artinya, saat itu saja sudah cukup banyak aktivis lingkungan yang sudah menyadari ancaman dan efek dari kerusakan lingkungan secara kompleks. Hanya saja, mengapa reaksinya begitu lambat? Mengenai isu pemanasan global misalnya, komitmen bersama baru ditunjukkan di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, saat 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat.
Memang ada suatu alasan bahwa lambatnya penanganan isu-isu lingkungan disebabkan oleh fluktuatifnya perubahan lingkungan. Seperti isu pemanasan global, banyak ilmuwan meragukannya sebab pemanasan global dipercaya sebagai suatu bentuk perubahan lingkungan yang normal, juga karena beberapa alasan yang relevan.
Selain itu, adanya kepentingan politik dan ekonomi juga menghambat proses recovery lingkungan. Seperti pasal pengurangan emisi di Protokol Kyoto yang bervariasi di tiap negara—negara berkembang tidak diminta untuk berpartisipasi dalam pengurangan emisi dan bahkan Amerika pada tahun 2001 menyatakan mundur dari perjanjian ini karena pengurangan emisi ini menelan biaya yang sangat besar.
Dilema antara kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi memang sangat besar. Lihat saja banyaknya keraguan dalam pembatasan penebangan disandingkan dengan besarnya pendapatan negara dari ekspor kayu dan hasil hutan. Juga upaya mensubsitusi bahan bakar fosil dengan biofuel yang selain mahal juga menimbulkan dampak krisis pangan.
Namun bagaimanapun, lepas dari ada tidaknya pemanasan global sebagai suatu isu lingkungan terbesar, kenyataan bahwa kerusakan lingkungan, terutama deforestasi memang benar terjadi. Penyangkalan dan upaya mencari terlalu banyak bukti hanya akan melahirkan suatu keterlambatan penanganan, yang akan memperburuk situasi.
Demikian juga dalam menanggapi dilema kepentingan politik ekonomi versus kepentingan lingkungan. Memang bukan pilihan yang mudah, untuk meninggalkan cara-cara primitif yang praktis dan murah menuju alternatif lain yang rumit dan mahal. Tapi pada akhirnya, kita semua akan melangkah ke masa depan bukan? Tentu saja diperlukan upaya keras tidak hanya untuk menghasilkan uang, tapi juga untuk memastikan bahwa bumi ini masih bisa ditempati umat manusia. Masih ingat ini bukan?


WRITTEN BY ADE OKTIVIYARI | SEKRETARIS MENTERI KOMINFO PEMERINTAHAN MAHASISWA UNSYIAH DAN ANGGOTA FORUM LINGKAR PENA ACEH 

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search